Laman

Rabu, 27 Oktober 2010

Inilah Foto-foto Kehancuran Akibat Tsunami Mentawai Setinggi 12 Meter

 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter dan disusul gelombang tsunami telah meluluh lantakkan Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Kerusakan terparah di Dusun Muntei Baru, Pagai Selatan. Di dusun ini gelombang tsunami mencapai 12 meter.

Hingga Rabu (27/10/2010) malam, tercatat korban meninggal sudah mencapai 311 jiwa. Sedangkan korban luka 160 orang.

"Korban meninggal 311 dan yang hilang mencapai 410 orang," kata Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno.

Kerusakan paling parah akibat gelombang tsunami berada di Dusun Muntei Baru, Pagai Selatan, Mentawai. Dusun ini telah rata dengan tanah. Bangunan dan pepohonan kelapa pun bertumbangan diterjang tsunami.

Korban Tewas Tsunami Mentawai Jadi 311 Orang

Kamis, 28 Oktober 2010 - 01:03 wib
Rus Akbar - Okezone
 PADANG – Korban tewas akibat gelombang tsunami di Kepulauan Mentawai terus bertambah. Hingga malam tadi, jumlah korban gempa dan tsunami berjumlah 311 orang.

Berdasarkan data yang diperoleh okezone, jumlah korban tewas berada di empat kecamatan. Rinciannya, sebanyak 311 orang meninggal dunia, 412 orang masih hilang, 15 orang luka berat, dan 25 orang luka ringan.

"Selain itu, sekira 4.000 kepala keluarga masih menggungsi," ujar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatra Barat Hermansyah, Rabu (27/10/2010).

Dia menduga jumlah korban masih akan terus bertambah. Kejadian ini juga telah memporak-porandakan sejumlah bangunan.

"Rumah penduduk 179 unit rusak berat, 300 unit rusak ringan. Kemudian rumah ibadah lima unit juga hancur dan 10 jembatan penghubung telah putus,” tambahnya.

Berbagai bantuan pun berdatangan untuk membantu para korban gempa dan tsunami. "Satu unit kapal sudah diberangkatkan. Salah satu perusahaan swasta membawa bantuan logistik petang tadi," Tutur seorang warga bernama Muci.

Mbah Marijan kini telah tiada

MBAH MARIJAN kini telah tiada. Dia telah menepati janjinya untuk tetap setia ''menjaga'' Gunung Merapi hingga akhir hayatnya. Kepala Desa Umbulharjo Bejo Mulyo mengatakan, Mbah Marijan adalah sosok yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab. Meskipun Merapi telah berstatus ''Awas'', Mbah Marijan tetap bertahan di rumahnya sebagai wujud tanggung jawab terhadap amanat yang diemban sebagai ''abdi dalem'' Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, Mbah Marijan merupakan sosok yang baik dan sangat bertanggung jawab. ''Saya merasa kehilangan juru kunci Gunung Merapi Mbah Marijan. Saya berbelasungkawa atas musibah tersebut,'' katanya, Rabu (27/10) kemarin.
Ia mengatakan, saat ini belum memikirkan untuk mencari pengganti Mbah Marijan sebagai juru kunci. ''Saya belum memikirkan pengganti Mbah Marijan. Saya akan menunggu sampai suasana normal,'' katanya.
Slamat, anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Desa Umbulharjo, mengatakan saat dilakukan penyisiran Rabu pagi kemarin ditemukan sesosok mayat dalam posisi sujud di dekat dapur rumah Mbah Marijan. Mayat tersebut ditemukan dengan posisi sujud dan tertimpa reruntuhan tembok dan pohon.
Mbah Marijan atau Mas Ngabehi Surakso Hargo merupakan salah satu sosok panutan warga di lereng Gunung Merapi. Ia yang ditugasi sebagai juru kunci Gunung Merapi, menjadi sumber inspirasi tersendiri bagi masyarakat. Bahkan ketika gunung teraktif di dunia ini sedang bergolak, Mbah Marijan tetap bersikukuh enggan mengungsi, demi menjalankan kewajibannya, meskipun dengan bertaruh nyawa.
Mas Ngabehi Surakso Hargo ini lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada 1927. Dia mempunyai istri bernama Ponirah dan 10 orang anak, lima di antaranya telah meninggal. Amanah menjadi juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970 dan menjadi juru kunci sejak tahun 1982.
Sang penjaga Merapi ini dikenal sebagai juru kunci yang setia menjaga Merapi. Dirinya tak pernah mau meninggalkan Merapi saat Merapi beberapa kali menunjukkan aktivitasnya yang cukup membahayakan. Namun pada tanggal 26 Oktober 2010, terjadi letusan Merapi yang disertai awan panas setinggi 1,5 kilometer. Gulungan awan panas tersebut meluncur hingga ke pemukiman warga tempat tinggal Mbah Marijan di Desa Kinahrejo, Cangkringan, Sleman.
Sebagai seorang abdi dalem Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan jabatan juru kunci, Mbah Marijan telah menunjukkan kesetiaan dalam menjunjung tinggi tugasnya menjaga Merapi. Meski Merapi telah memuntahkan lava pijar dan awan panas, Mbah Marijan tetap bertahan dan setia menjaga Merapi dengan semua konsekuensinya.

Doa untuk Indonesia

Rabu, 27 Oktober 2010 21:53 WIB
DUA bencana besar menimpa Indonesia secara berturut-turut. Pertama adalah gempa bumi berdampak tsunami yang menyapu habis Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kedua, letusan Gunung Merapi di Yogyakarta yang meminta korban jiwa yang juga tidak kalah besarnya.

Gempa bumi berdampak tsunami di Kepulauan Mentawai baru kita ketahui akibatnya sehari setelah bencana terjadi. Ketika gempa bumi pertama kali terjadi, pusat dan kekuatan gempa memang berhasil dideteksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMG). Bahkan kemudian peringatan terhadap kemungkinan datangnya tsunami segera disampaikan kepada masyarakat.

Kita ikuti dari pemberitaan bagaimana penduduk di Padang sempat meninggalkan daerah pantai karena khawatir akan ancaman tsunami. Gempa dengan kekuatan 7,2 skala Richter memang tidak bisa dianggap kecil, karena goncangannya terasa sampai ke Singapura.

Namun BMG kemudian mengumumkan bahwa ancaman tsunami itu berakhir. Kekhawatiran tsunami tidak terjadi. Memang untuk wilayah Padang tidak ada gelombang tinggi yang menyapu habis daerah pantai.

Kita baru tahu keesokan harinya ketika ada kabar dari Kepulauan Mentawai bahwa telah terjadi bencana tsunami. Gelombang laut yang mencapai ketinggian 12 meter dan masuk hingga 600 meter ke arah daratan menyapu semua yang kemudian dilewati. Sampai hari Rabu tercatat 128 orang meninggal dunia dan lebih dari 400 warga dinyatakan hilang.

Belum lagi hilang kepedihan kita atas bencana tsunami yang harus dialami saudara kita yang tinggal di Kepulauan Mentawai, kemarin sore kita dihadapkan pada kenyataan lain, yakni meletusnya Gunung Merapi. Aktivitas yang terus meningkat dari gunung tersebut, mencapai puncak ketika Gunung Merapi meletus untuk melepaskan energi yang disimpannya.

Awan panas yang dilepaskan tanpa ampun merusak seluruh benda yang terlewati, termasuk sejumlah warga yang tidak mau meninggalkan kawasan berbahaya. Sampai hari Rabu tercatat 25 orang warga meninggal dunia karena terpaan awan panas.

Ketika bencana alam terjadi, tantangan yang kita hadapi bagaimana mengurangi penderitaan masyarakat yang terkena korban. Kepada yang meninggal dunia, tentunya kita harus memakamkannya secara baik. Namun tantangan yang lebih berat adalah bagaimana menangani mereka yang selamat dari bencana.

Dengan harta benda yang habis karena bencana, maka kita harus memberikan modal bagi mereka untuk bisa bertahan hidup. Mereka bukan hanya membutuhkan naungan dan pakaian, tetapi mereka butuh modal untuk melanjutkan perjalanan hidup mereka.

Tanggung jawab untuk itu pertama-tama tentunya berada di tangan pemerintah. Pemerintah harus memastikan bahwa penderitaan masyarakat tidak berlanjut pascabencana. Bahkan pemerintah harus bisa membangunkan kembali harapan dari para korban yang selamat.

Pada tempatnya apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memercepat kunjungan kenegaraan dan segera kembali ke Tanah Air. Segala persoalan internasional menjadi kalah berarti ketika bencana besar terjadi di Tanah Air.

Dua bencana besar yang terjadi hampir bersamaan membawa duka yang luar biasa kepada masyarakat. Presiden sepantasnya berada dekat dengan rakyatnya yang sedang menderita, agar harapannya kembali bangkit.

Gerakan dari pemerintah dan juga Presiden tentunya akan menarik masyarakat untuk turut menyingsingkan lengan baju membantu mereka yang sedang menderita. Masyarakat kita selama ini menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi, mereka langsung turun tangan untuk membantu ketika ada saudara mereka yang menderita.

Bantuan masyarakat tidak harus dalam materi. Bantuan tenaga dan dukungan moral tidak kalah pentingnya untuk memulihkan kepercayaan diri para korban. Gerakan "Pray for Indonesia" atau "Doa untuk Indonesia" misalnya, merupakan bentuk kepedulian yang luar biasa.

Duka yang kita alami sebagai bangsa sungguh luar biasa beratnya. Namun kita tidak mungkin hanya bisa larut dalam kedukaan, tetapi harus bangkit untuk melanjutkan hidup ini. Kita harus berusaha sambil berdoa bagi kehidupan yang lebih baik bagi bangsa ini.
Bookmark and 
Share